Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[1] Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.[1]
Fungsi
1. Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.[3]
2. Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan.
3. Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.[3]
4. Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga.[3] Batasan dan tantangan negara Republik Indonesia adalah:[3]
• Risalah sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 tentang negara Republik Indonesia dari beberapa pendapat para pejuang nasional. Dr. Soepomo menyatakan Indonesia meliputi batas Hindia Belanda, Muh. Yamin menyatakan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, Semenanjung Melayu, Timor, Papua, Ir. Soekarno menyatakan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
• Ordonantie (UU Belanda) 1939, yaitu penentuan lebar laut sepanjang 3 mil laut dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan garis air pasang surut atau countour pulau/darat. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional.
• Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 merupakan pengumuman pemerintah RI tentang wilayah perairan negara RI, yang isinya:
1. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI.
2. Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.
3. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.
Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:[4]
1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial".
2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
UNCLOS 1982
Sengketa perebutan wilayah Kepulauan Sipadan - Ligitan antara Indonesia dan Malaysia sudah berlangsung sejak 1967, dan klimaksnya, 17 Desember 2002, dikeluarkan putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan wilayah itu milik Malaysia
Hilangnya Sipadan Ligitan berarti wibawa dan kedaulatan RI jelas terusik. Reaksi keras pun mulai bermunculan dari berbagai komponen masyarakat yang masih memiliki patriotisme dan nasionalisme tinggi. Reaksi keras bermunculan dari kalangan DPR-RI seperti Permadi (PDI Perjuangan) yang pernah menyatakan sikap kemarahannya kepada Malaysia karena bukan saja mengganggu kedaulatan NKRI lewat pencaplokan pulau, tapi dari segi kebudayaan juga ikut diklaim sebagai miliknya, seperti tari Pendet asal Bali atau lagu daerah " Rasa Sayang Kane asal Maluku. Sikap nasionalisme juga ditunjukkan Wanadri, sebuah komunitas pencinta alam perambah hutan dan pendaki serta kelompok Budayawan Rumah Nusantara asal Bandung (Jabar) untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat Indonesia akan budaya kemari tim an.Demi mencegah jangan sampai terulang kembali kasus pencaplokan wilayah NKRI seperti Sipadan Ligitan, Wanadri dan Budayawan Rumah Nusantara ber-tekat melakukan penandaan kepemilikan pulau-pulau terdepan nusantara dari ujung barat Pulau Sumatra sampai ujung timur Pulau Irian Jaya.
Semangat tim ekspedisi GDN dimulai sejak 2008, sejalan dengan peringatan seabad kebangkitan nasional dan 80 tahun Bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda. Seluruh pulau terluar atau pulau terdepan nusantara di ujung Sumatra mulai didatangi tim ekspedisi untuk me-mancang tugu prasasti NKRI. "Jangan lihat pulaunya yang berukuran kecil dicaplok masuk batas negara lain, tapi kedaulatan NKRI dengan luas wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai pulau itulah yang harus disoroti," kata Komandan Ekspedisi Garis Depan Nusantara (GDN), lrwanto Iskandar di Pulau Ararkula, salah satu pulau terluar nusantara di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.Meskipun sebuah pulau terdepan terlihat kosong tanpa penghuni dan hanya merupakan pulau karang yang kecil, wilayah ini adalah lambang kedaulatan Republik Indonesia yang dijadikan patokan dasar untuk menarik garis sepanjang 12 mil ke tengah laut merupakan kedaulatan Indonesia di mata dunia internasional.
Untuk itulah, tim Ekspedisi berniat mendatangi 92 pulau terdepan nusantara untuk melakukan pemancangan patok berupa tugu prasasti NKRI di seluruh kawasan Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Kawasan Timur Indonesia, termasuk wilayah Kepulauan Aru. "Ke-92 pulau terdepan nusantara ini sudah memiliki titik dasar koodrinamya dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia," katanya. Landasan hukum lainnya, berupa penerbitan Undang-Undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.UNCLOS 1982 Komandan Operasi tim ekspedisi GDN, Haris Mulyadi, mengatakan, sejak 13 Desember 1957, pemerintah Indonesia melalui Deklarasi Djuanda mengumumkan secara sepihak (unilateral) bahwa batas laut wilayah Indonesia adalah 12 mil. Kemudian dengan Undang-Undang nomor 4 /Prp tahun 1960 ditetapkan ketentuan tentang laut wilayah Indonesia sebesar 12 mil laut dari garis pangkal lurus. "Perairan Kepulauan Indonesia dikelilingi oleh garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau terluar Indonesia," katanya.
Semenjak deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan konsep Wawasan Nusantara di dalam setiap perundingan bilateral, trilateral dan multilateral dengan berbagai negara di dunia dalam setiap forum internasional. Diplomasi ini pun akhirnya mendapat respons positif dengan diterimanya Negara Kepulauan dalam konvensi hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Menurur Haris, pemerintah akhirnya meratifikasi atau mengesahkan UNCLOS 1982 melalui Undang- Undang nomor 17 tahun 1985, dan bagi Indonesia UNCLOS merupakan salah satu bentuk pengakuan dunia internasional terhadap konsep Wawasan Nusantara yang telah digagas sejak tahun 1957.
Dalam pergaulan dunia inter- nasional, sebuah wilayah negara tentunya akan memiliki batas dengan negara lain dan banyak aspek yang saling mempengaruhi situasi dan kondisi perbatasan tersebut.Selain itu, perbatasan negara merupakan garis imajiner di atas permukaan bumi yang memisahkan wilayah satu negara dengan wilayah negara lainnya, dan sejauh perbatasan im diakui secara tegas melalui sebuah perjanjian (taktat)maupun diakui secara umum, maka perbatasan merupakan bagian dari suatu hak negara terhadap wilayahnya Sebagai negara kepulauan, wilayah Indonesia terdiri atas perairan pedalaman, perairan kepulauan (archipdagic waters), laut wilayah, zona tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan landas kontinen. "Ekspedisi GDN untuk menancapkan tugu prasasti NKRI sekaligus melakukan pendataan demografi dan kehidupan sosial budaya masyarakat pulau terdepan Nusantara diharapkan dapat menjadi motivasi bagi masyarakat Indonesia untuk menumbuhkan semangat kemari timan dan cinta bahari," katanya.
Kepala Dinas Perhubungan Kepulauan Aru, Jimmy Anggrek mengatakan, PBB telah memberikan kesempatan bagi seluruh negara memasang tanda kepemilikan pulau terluar.Penandaan pulau ini ada batas waktunya dan suatu ketika akan ada operasi Baruna dari PBB untuk memeriksa. Pemkab Kepulauan Aru pada prinsipnya menyambut positif kegiatan tim ekspedisi GDN yang melakukan pemancangan tugu prasasti NKRI untuk delapan pulau terluar di Kabupaten Kepulauan Aru yang meliputi Pulau Penambulai, Ararkula, Karaweira, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang, Enu serta pulau Batu Goyang.(pumpunan)
terima kasih :)
BalasHapus